Monday, September 10, 2012

How did I get here?


"I don't even have time to breathe!". Saya sering sekali berkata demikian kepada diri sendiri beberapa tahun belakangan ini. Kalo dipikir-pikir, kata2 tersebut memang agak exaggerating, kalo gak sempat napas gak mungkin masih hidup dunkz. Tapi yah, hidupnya gitu2 aja, not that I'm not being grateful about it. Saya sebenarnya takut, takut sekali menjadi manusia yang kufur nikmat. But still, I'm only human and sometimes I'm complaining.

Semua ini dimulai di semester akhir kuliahan. So, I do know exactly how I get here. Di tahun akhir kuliah, saya cuma punya satu aim, yaitu bagaimana bisa lulus cum laude. Untung aja di semester 8, saya cuma punya satu mata kuliah ditambah skripsi. Hidup masih normal ketika itu, setelah kurang lebih empat bulan mengurus skripsi, skripsi pun rampung (walau saya tidak terlalu bangga dengan hasilnya). Skripsi selesai, langsung seminar, seminar selesai, langsung kompre. Ujian mata kuliah yang satu itupun harus dipercepat sehingga nilainya bisa diserahkan ke jurusan dan saya boleh diijinkan utk ikut kompre. Kenapa? Karena saya harus tanda tangan kontrak kerja bulan Juli dan akan sangat risky kalo saya tidak ikut kompre gelombang pertama yang diadakan akhir Juni itu. Kadang saya merasa, apakah saya ini bukan sarjana karbitan?
Anyway, Thanks God, sayapun lulus kompre (dengan nilai tertinggi,saya sendiri heran). Tapi,selalu ada tapi. Selesai kompre, saya harus mengurus ini itu buat persiapan hijrah ke Jakarta. Walhasil, waktu satu bulan resmi dihabiskan untuk mengurus kelulusan di kampus dan kebutuhan pindah. Anyway, I did become a cum laude graduate.

Jadi mungkin saya sedang mengalami shock, tapi kenapa sudah setahun shocknya gak hilang2? Jangan2 saya berharap bisa jadi pengangguran dulu setelah lulus instead of ditungguin kerjaan? Astaghfirullah. Kadang2 saya merasa sedang ketinggalan kereta, saya bisa melihat kereta itu pergi menjauhi saya, tapi tidak bisa melakukan apa2 untuk mencegahnya. Every single day, I'm living my life without even being in the moment. Ini bikin sedih banget. I used to be someone who did a lot of stuff at the same time. Masih ingat masa2 SMA dulu yang setiap minggunya penuh dg kegiatan ekskul dari KIR, Rohis, Mading, sampai Bengkel Seni. Jadi kalo dibilang saya gak biasa sibuk, I do like to be busy actually. Cuma sekarang ini, sibuknya ya cuma satu, K.E.R.J.A. Jadi, saya sebel krn I didn't get anything done except my work.
Dari pagi sampe sore, dari Senin sampe Jumat (kadang2 Sabtu) saya harus ke kantor atau ke klien. Duduk di depan komputer atau inquiry klien. Trus kenapa emang? Memangnya ada yang aneh dan gak biasa soal rutinitas ini? Enggak sih, tapi kadang during weekdays saya sangat menanti-nantikan yang namanya weekend, tapi giliran weekend nya datang, saya cuma tengkurep di atas ranjang sambil buka laptop atau tidur sekalian. Eh, gak kerasa udah senin lagi. Sial.

Kerjaan di kantor sebenarnya tidak menuntut saya untuk sibuk all the time. Ada juga masa2 nganggur atau low season yang berkisar antara bulan May hingga Agustus. Tapi dasar manusia yang gak pernah puas, kalo lagi peak season yang tiap harinya bisa pulang pagi dan Sabtu juga ngantor, I was looking forward for the low season to come already. Saking gak kuatnya lembur, di kantor malam2 pikiran udah mulai dihantui hasrat ingin tidur. Waktu low season datang, gantian rasa bosan gak ketulungan yang menghadang. Bayangin, duduk di kantor 8 jam sehari gak ngapa2in. Karena udah kebiasaan tidur 3 jam sehari waktu peak season, ketika low season saya jadi insomnia. Kalo udah tidur 3 jam, saya pasti kebangun dan gak bisa tidur lagi. Aduh. Jadilah siangnya uring2an gak jelas. Padahal waktu yg sgt bnyk ini bs saya manfaatkan utk melalukan hal2 yg saya ingin lakukan, tapi saking "sibuk"nya uring2an, malah gak ada satupun yg kesampaian.

So, harus berhenti kerja gitu biar bisa happy? Ya gak se-ekstrim itu juga mungkin. Kerjaan apapun akan menuntut kita buat profesional dan bersikap layaknya orang dewasa (gak kekanak2an kayak saya yang kalo udah gak bisa fokus jadi pengen terjun dari lantai 8 aja). So it's not the job, it's me. Sebenarnya saya tau apa yang bisa saya lakukan hanya kadang tidak punya cukup energi (atau kemauan) untuk melakukannya. Saya sering punya rencana, "Wah, Sabtu ini pengen ke Starbucks ah, ngopi sambil baca2 atau browsing2", atau "Hari Minggu ini mau nulis email ah buat Georgie (yg udah satu tahun gak saya emailin,dasar kualat)". Tapi ya itu, sampai sekarang belum terwujud.

It's a lonely life that I have here. Lho? Zaman kuliahan saya juga sering nyampe rumah kesorean, ngiter2 gak jelas bentar langsung tidur, bangun kesiangan trus buru2 ke kampus, weekend di rumah doang (di kamar doang malah), tapi saya gak sebel. Karena di sela itu2 saya bisa ngobrol2 sama papa, ngusilin adek2, ketawa2 gede. Sementara sekarang, pulang kerja gak ada yg nungguin, suasana kamar kosan hening, telat gak ada yg bangunin, gak ada yg nyuruh makan, nyuruh mandi (ups). Makanya saya jadi gak living in the moment. Beberapa bulan yg lalu, tekad saya adalah bagaimana supaya bulan Agustus bisa dtg secepatnya, karena saya akan mudik Lebaran bulan itu,hehe. Jadi, setiap hari saya habiskan dengan menyilangi kalendar dan kalo ada hal tidak mengenakkan yang terjadi, saya bergumam, "Gak papa, bentar lagi Agustus". Dan walaupun saya berada di rumah selama tiga minggu, tetap saja itu tidak cukup dan saya harus balik ke Jakarta. Sekarang krn saya Insyaallah akan mudik lg di bulan Desember, hal ini menjadi, "Gak papa, bentar lagi Desember". Lalu apakah saya hanya hidup 3 minggu dalam setahun itu saja? Sampai kapan saya akan begini? Walaupun saya sangat bahagia ketika berkumpul bersama keluarga saya di rumah, saya juga ingin bahagia ketika tidak bersama mereka di sini. Ugh, kenapa harus serumit ini sih untuk menjadi orang dewasa? Sepertinya weekend ini saya harus benar2 ke Starbucks.

11 Sept 2012


No comments:

Post a Comment